Cerpen
Anak (Dimuat di harian Kompas, Minggu 28 Maret 2004 halaman 32)
Manusia
Bertanduk
Oleh: Pirngadi
Dengan
hati berdebar Doni meraba kepalanya. Belum yakin juga, Doni bergegas menuju
cermin yang tergantung di dinding kamar. Dilihat dan sekali lagi diraba
kepalanya di depan cermin. Utuh, tidak ada tanda-tanda aneh di sana. Doni
menghela napas lega.
Akhir-akhir
ini Doni memang mempunyai kebiasaan aneh. Doni selalu meraba bagian atas
kepalanya dan berusaha meyakinkan diri bahwa tidak ada sesuatu yang mulai
tumbuh di sana. Bahkan setiap saat Doni ingat, buru-buru dirabanya bagian atas
kepalanya. Tidak peduli sedang makan, nonton televisi, membaca, atau bermain,
kebiasaan baru itu selalu dilakukannya. Tentu saja dengan hati berdebar,
khawatir, dan takut.
Beberapa
kali Ibu memergoki Doni berbuat aneh seperti itu. Ibu juga melihat ada sesuatu
yang berubah pada diri Doni. Anak itu lebih pendiam dibandingkan biasanya. Doni
juga lebih gampang terkejut, sering bengong, dan kadang-kadang tidak bisa
menyembunyikan kecemasannya tanpa sebab yang jelas.
“Kamu
kenapa sih, Don? Ibu lihat akhir-akhir ini sikapmu lain dari biasanya,” kata
Ibu setelah makan malam. Selain khawatir, Ibu juga risih melihatnya.
“Tidak
apa-apa, Bu,” jawab Doni berbohong. Takut-takut Doni segera menyambung, “Bu,
benarkah kutukan seseorang masih berlaku pada zaman sekarang?”
Sekilas
Ibu memandang Doni setengah geli. Melihat wajah Doni yang serius, Ibu cepat
berkata, “Kutukan itu hanya ada dalam dongeng-dongeng, Doni. Lagi pula kenapa
kamu tanya soal kutukan dengan serius seperti itu?”
Doni
nyengir dan bergegas masuk kamar. Doni berniat belajar. Tapi sungguh, Doni
tidak dapat berkonsentrasi belajar. Doni segera menutup buku pelajaran dan
membaca buku kumpulan dongeng. Dibacanya dongeng-dongeng yang berisi tentang
kutukan seperti dongeng Malin Kundang, Tangkuban Perahu, dan Rara Jonggrang.
Doni
semakin cemas setelah membaca dongeng-dongeng itu. Doni semakin yakin jika
kutukan itu benar-benar ada. Semua pelaku dalam dongeng itu berubah menjadi batu
atau sengsara hidupnya karena kutukan. Seraut wajah lelaki tua di kebun
rambutan membayang jelas di pelupuk mata Doni. Doni masih ingat benar apa yang
diucapkan kakek itu. Bulu kuduk Doni meremang dan ia segera meloncat di atas
ranjang. Diselimutinya seluruh tubuh, berusaha untuk tidur.
Doni
tidur dengan gelisah. Tengah malam, Doni seperti merasakan ada sesuatu yang
aneh, di kepalanya! Berlahan-lahan muncul sepasang tanduk di kepalanya! Kutukan
itu benar-benar terbukti. Doni menjadi manusia bertanduk. Doni pun takut
melihat dirinya sendiri. Doni berteriak keras-keras.
“Doni,
Doni!” panggil Ibu membangunkan Doni setelah mendengar teriakan anak bungsunya
itu.
Doni
gelagapan bangun tidur dan buru-buru meraba-raba kepalanya. Wajah Doni pucat
pasi, tubuhnya basah mandi keringat. Sesaat kemudian baru disadari Ibu dan Ayah
sudah berada di kamarnya.
“Kamu
bermimpi, Don. Sebelum tidur, kamu lupa berdoa, ya?” tanya Ibu sambil mengusap
keringat di kening Doni.
“Bu,
benarkah kutukan itu akan menimpa saya?” Doni balik bertanya kepada Ibu.
“Kamu
ini kenapa sih, Don? Dari kemarin kamu ngomong soal kutukan. Ibu jadi bingung!”
kata Ibu seraya memandang Ayah dengan wajah bingung.
Ayah
segera duduk di sisi Doni. Dibelainya kepala Doni sambil berkata, “Ayolah
bicara teras terang! Ada apa sebenarnya?”
Dengan
suara bergetar Doni akhirnya bercerita. Beberapa hari yang lalu, sepulang
bermain, Doni mengambil jalan pintas agar segera sampai di rumah. Doni melewati
jalan setapak yang membelah kebun Kakek Aspar. Saat itu pukul lima sore dan
suasana di tengah kebun rambutan itu mulai gelap. Karena dorongan rasa haus,
Doni memanjat dan memetik beberapa buah rambutan yang memang sedang lebat
berbuah.
Setelah
puas menikmati belasan buah rambutan, Doni bergegas hendak pulang. Belum jauh
dari kulit-kulit buah rambutan yang ditinggalkan, langkah kaki Doni terhenti
karena sesosok tubuh telah menghadangnya. Laki-laki tua yang menghentikan
langkah Doni itu adalah Kakek Aspar, pemilik kebun rambutan.
Doni
tetap mengelak ketika Kakek Aspar memaksanya untuk mengaku bahwa Doni telah
mencuri buah rambutannya. Karena Doni bersikeras tidak mengakui perbuatannya,
Kakek Aspar pun mengeluarkan ancamannya.
“Kalau
kamu mencuri rambutanku tapi tidak mau mengakuinya, jangan salahkan aku jika di
kepalamu akan tumbuh sepasang tanduk!” kata Doni menirukan ‘kutukan’ Kakek
Aspar.
Ayah
mengangguk-anggukkan kepala mendengar cerita Doni. Sambil merangkul pundak
anaknya, Ayah berkata, “Percayalah Doni, kutukan itu tidak ada. Kakek Aspar
jengkel karena kamu tidak mengakui perbuatanmu.”
“Sekarang
masih pukul satu dini hari,” kata Ibu dengan suara lembut. “Sebaiknya kamu
tidur lagi. Kapan-kapan mintalah maaf kepada Kakek Aspar. Berjanjilah untuk
tidak mengulangi perbuatan buruk itu.”
Doni
mengangguk. Doni berjanji akan menemui Kakek Aspar secepatnya. Untuk mengakui
perbuatannya, untuk meminta maaf, untuk membatalkan ‘kutukannya’. Doni pun
segera merebahkan diri, sambil memegangi bagian atas kepalanya.
Cerpen (Dimuat di majalah SEKAR edisi nomor
44 tgl. 17 Nov. 2010)
Koleksi
Oleh : Pirngadi
Tidak
seperti biasanya, sepulang dari sekolah wajah Putri tampak murung. Ketika
kutanya apakah Putri sakit, anak bungsuku itu menggeleng. Setelah kudesak akhirnya Putri mengaku. Putri
dituduh temannya mengambil pensil mekanik. Dengan agak emosional, Putri
membantah tuduhan itu.
“Benar,
Ma!” tandas Putri meyakinkan diriku. “Putri tidak mencuri pensil Salma. Pensil
itu Putri temukan di kolong meja. Sebelum Putri kembalikan kepada Salma, ia
telah menuduh Putri yang mengambilnya dari tas.”
Emosi
dan kemurungan wajah Putri berangsur surut setelah kunasihati sembari tak
hanti-hentinya menebar senyum. Kukatakan bahwa aku lebih mempercayai Putri
daripada teman sekelasnya. Aku bahkan sedikit banyak menyalahkan anak yang
bernama Salma itu karena tidak berterima kasih pensilnya ditemukan Putri. Anak
seperti itu, tambahku menghibur Putri, nilainya sangat rendah untuk mata
pelajaran budi pekerti.
Sikap
Putri kembali seperti biasa, lincah dan ceria. Meskipun masih ada rasa dongkol
karena gadis kecilku dituduh mencuri, namun aku turut gembira melihat Putri
sudah melupakannya. Menurut pendapatku, itu artinya Putri tidak memiliki sifat
pendendam. Hal-hal kecil seperti itu menambah rasa banggaku mempunyai anak
seperti Putri. Ah, Putri memang berbeda dibandingkan kedua kakaknya. Putri
lebih agresif, cerdas, memiliki bakat seni, dan gampang melupakan hal-hal yang
membuatnya sedih.
Karena
Putri, aku dan suamiku merasa seperti menjadi orang tua paling berbahagia di
dunia. Perasaan seperti itu kurasakan saat mendampingi Putri memenangi lomba
melukis, menyanyi, atau mendongeng. Meskipun prestasi-prestasi seperti itu
masih di tingkat lokal, namun aku menganggapnya cukup luar biasa. Tidak salah
jika anak perempuanku satu-satunya itu kuberi nama Nugrahini Megaputri yang
artinya kurang lebih anak perempuan yang memberi anugerah.
Selain
berprestasi di bidang seni, Putri juga dianugerahi otak yang lumayan encer.
Sejak duduk di kelas dua sekolah dasar, nilai rapor Putri tidak pernah bergeser
dari peringkat dua terbaik di kelas. Bahkan saat naik kelas lima kemarin, Putri
berhasil menduduki peringkat pertama. Aku pun memanjakan Putri dengan menambah
uang sakunya setiap hari hampir dua kali lipat dari jumlah semula.
Berbeda
dengan kedua kakaknya, Ale dan Jay, Putri menyukai segala sesuatu yang rapi dan
teratur. Kamar Putri misalnya, selalu bersih dan rapi. Semua benda di kamar
Putri seperti diletakkan pada tempat yang seharusnya diletakkan. Jika ada satu
benda yang berpindah tempat di luar sepengetahuannya, Putri pasti tahu dan
biasanya marah-marah. Kejadian seperti itu biasanya dilakukan oleh
kakak-kakaknya.
Melihat
benda-benda yang berada di kamar Putri, kadang-kadang ada sesuatu yang
menggelitik batinku. Dari mana Putri memperoleh berbagai benda itu sedangkan
rasa-rasanya aku tidak pernah membelikannya? Dua boneka Barbie misalnya, sebuah
pun aku belum pernah membelikannya. Juga beberapa buah kaset lagu anak-anak,
bingkai foto unik, kalkulator, buku-buku cerita, puluhan bolpoin dan pensil,
bahkan patung-patung keramik kecil yang biasanya sebagai souvenir perkawinan.
Anehnya lagi, sebagian besar benda-benda itu sudah diberi nama dengan tulisan
yang berbeda antara yang satu dengan yang lain. Uniknya, dan ini yang membuatku
sedikit heran, Putri tidak pernah menggunakannya. Benda-benda itu hanya
diletakkan seolah cuma menjadi pajangan dalam lemari kaca. Dari hari ke hari
‘koleksi’ Putri itu semakin bertambah.
Seperti
mengetahui apa yang ada dalam benakku, tidak jarang Putri bercerita bila
mendapatkan benda ‘koleksi’ yang baru. Setiap kali menceritakannya, asal muasal
benda-benda itu nyaris seragam. Putri biasanya mengatakan bahwa benda-benda itu
diperolehnya atas pemberian teman atau ia menemukannya di suatu tempat. Putri
sering menjelaskan secara detail dan rasional sehingga aku melihat tidak ada
sedikit pun alasan untuk berpikir yang bukan-bukan. Apalagi menurut
penilaianku, Putri mempunyai sifat supel dalam pergaulannya sehingga gadis
kecilku itu memiliki banyak teman dan kenalan.
Berprasangka
buruk terhadap Putri kuanggap tidak berdasar dan sangat keterlaluan. Jika ada
yang melakukannya, aku pasti tersinggung dan marah. Untuk masalah yang kuanggap
sangat urgen ini, aku pernah berurusan dengan dua orang bocah teman sekelas
Putri untuk sekadar memberi klarifikasi.
Dua
bocah itu, Sentot dan Edi, selalu berteriak-teriak setiap kali lewat di depan
rumah. Semula aku tidak menghiraukannya, namun setelah berlangsung berhari-hari
lamanya, aku akhirnya tidak bisa tinggal diam. Teriakan mereka sungguh membuat
telingaku terasa panas. Bagaimana tidak, mereka berteriak, “Pencuri cilik,
pencuri cilik!” Teriakan itu sepertinya ditujukan kepada Putri. Aku pun
penasaran dan harus kuakui emosiku menggelegak setiap kali mendengar teriakan
mereka.
“Hari
Senin yang lalu, Melodi membawa buku cerita baru. Putri kepingin membaca dan
meminjamnya. Saat Melodi tidak berada di tempat karena jam istirahat dan kelas
dalam keadaan kosong, Putri mengambil
buku cerita itu dari dalam tas Melodi. Maksud Putri, Putri akan bilang
setelah Melodi masuk kelas kembali. Rupanya, Sentot dan Edi mengetahuinya dan
menuduh Putri hendak mencuri buku cerita itu. Sungguh Ma, Putri hanya mau
meminjam saja!” papar Putri ketika kutanya mengapa kedua teman sekelasnya itu
berteriak-teriak setiap kali lewat di depan rumah.
Mendengar
pengakuan Putri yang kunilai telah berkata dengan jujur dan melihat sikapnya
yang mengingatkanku akan seorang pesakitan saat diinterogasi polisi, aku pun
menyesal menanyakan hal itu kepada Putri. Meskipun tindakan Putri mengambil
sesuatu di luar sepengetahuan pemiliknya kuanggap sebagai perbuatan tidak baik,
namun tuduhan yang dilontarkan Sentot dan Edi kunilai sangat berlebihan.
Tuduhan seperti itu tidak hanya memojokkan Putri, tapi juga merusak nama
baiknya. Itulah sebabnya aku terpaksa bertindak dengan mengabaikan nasihat
suamiku untuk tidak terlalu memikirkan hal-hal yang berhubungan dengan
anak-anak.
“Sudahlah,
Ma, jangan terlalu diambil hati. Mereka itu kan anak-anak, sudah biasa saling
meledek. Sebentar lagi mereka juga baik kembali,” kata suamiku memberi nasihat
agar aku mengurungkan niatku.
“Tidak
bisa, Pa!” bantahku tegas. “Ulah mereka sudah keterlaluan. Bagaimana kalau
semua murid di sekolah Putri tahu dan ikut-ikutan menuduh Putri seperti itu?
Tidak Pa, Mama harus melakukan sesuatu!”
“Ya
sudah, terserah Mama. Tapi jangan sampai melakukan kekerasan fisik,” kata
suamiku seolah mengingatkanku.
Keesokan
harinya Sentot dan Edi kucegat di depan rumah. Ketika akan berangkat ke
sekolah, mereka kupaksa mampir dan kuinterogasi di teras rumah. Kujelaskan
kepada mereka tentang duduk persoalan buku cerita Melodi sambil memasang wajah
galak dan sedikit mengancam. Nyali kedua bocah itu langsung menciut dan
berjanji tidak akan meneriaki Putri lagi. Mereka akhirnya kulepas setelah aku
puas ‘mencucinya’. Mereka keluar dari halaman rumahku dengan wajah ketakutan.
Sejak
itu aku tidak pernah lagi diganggu oleh teriakan-teriakan yang memerahkan
cuping telingaku. Sentot dan Edi bahkan
tidak pernah lewat di depan rumah lagi. Mungkin kedua bocah itu takut kepadaku
dan memilih jalan memutar jika hendak berangkat dan pulang sekolah.
Kasus
Sentot dan Edi akhirnya terlupakan karena kesibukanku yang lain dan mengurus
rumah tangga. Bulan-bulan terakhir aku memang sering pusing tujuh keliling,
terutama dalam mengatur keuangan keluarga. Bagaimana tidak? Penghasilan suamiku
sebagai seorang guru sebuah SMP swasta tidak bertambah sementara dari hari ke
hari harga-harga terus beranjak naik. Aku harus ekstra hati-hati dan superhemat
untuk mengatur anggaran belanja rumah tangga. Meskipun berbagai pos pengeluaran
sudah mengalami pemangkasan, namun kadang-kadang aku masih mengalami kesulitan
mengatur keuangan.
Karena
terdesak kebutuhan, hari itu aku terpaksa menjual gelang satu-satunya
kepunyaanku dengan persetujuan suami. Sengaja kuajak Putri karena aku berniat
belanja di pasar swalayan setelah menjual gelang.
Siang
itu suasana toko emas yang kutuju lumayan ramai. Seorang gadis yang kukira anak
si pemilik toko emas melayaniku dengan sedikit kerepotan karena harus melayani
pula sepasang suami-istri di sampingku. Suami-istri itu tampaknya ingin membeli
liontin. Mereka seperti kebingungan oleh berbagai model dan ukuran liontin yang
dipajang dalam kotak kaca. Secara berganti-ganti mereka minta diambilkan
liontin yang dikehendakinya. Beberapa kali pasangan suami-istri itu meminta
pendapatku tentang liontin yang ditaksirnya. Aku pun menanggapinya dan turut
memegang-megang beberapa liontin sambil sedikit memberi penilaian. Saat itu aku
sempat memperingatkan Putri karena ia ikut-ikutan memegang liontin.
Lebih
dari lima belas menit aku baru keluar dari toko emas. Kutinggalkan pasangan
suami-istri yang belum juga berhasil memilih liontin itu. Aku dan Putri
bergegas ke pasar swalayan.
Selama
di pasar swalayan aku melihat ada sesuatu yang terjadi pada diri Putri. Anak
bungsuku itu tampak gelisah dan sesekali tidak dapat menyembunyikan
keterkejutannya terhadap seseorang yang secara tidak sengaja memandanginya.
Putri bahkan sempat memegangi ujung baju yang kukenakan saat seorang satpam
pasar swalayan secara kebetulan lewat di dekat Putri. Ketika kutanya, Putri
mengatakan tidak ada apa-apa sehingga aku pun berusaha tidak memedulikannya.
“Ma,
kita langsung pulang kan, Ma?” tanya Putri ketika aku membayar belanjaanku di
kasir. Aku melihat Putri tampak gelisah.
“Ya,
Mama sudah cukup belanjanya. Kita langsung pulang. Kamu kenapa, Putri? Kamu
sakit? Kamu tampak pucat!” jawabku khawatir. Kupegang kening Putri dan aku
tidak menemukan adanya gejala sakit pada diri putriku itu.
“Putri
tidak apa-apa, Ma, cuma sedikit capai dan kepingin cepat pulang,” kata Putri
yang membuatku sedikit lega. Meskipun Putri belum pernah bersikap seperti itu
saat kuajak belanja, namun aku tidak mau terlalu mengkhawatirkannya.
Beberapa
hari kemudian semua baru terungkap. Pagi itu, iseng saja aku hendak membaca
salah satu buku cerita koleksi Putri. Ketika sebuah buku kucabut dari
deretannya, tiba-tiba aku melihat ada sebuah benda yang terselip dari celah
buku yang telah kuambil. Aku terkejut seperti terkena aliran listrik ribuan
watt setelah memperhatikan secara lebih teliti benda yang diselipkan di
belakang deretan buku-buku itu. Sebuah liontin! Dan aku dapat memastikan,
liontin itu adalah salah satu dari liontin yang beberapa hari lalu kulihat di
toko emas tempat aku menjual gelang.
Saat
itu kesadaranku seperti baru tercuci. Jadi, benarkah tuduhan-tuduhan yang
ditujukan kepada Putri selama ini?
Benarkah semua benda ‘koleksi’ Putri itu hasil dari ‘kerajinan tangannya’?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak saja membuat seluruh tubuhku bergetar, tapi
juga merumukkan isi rongga dadaku.
Cerpen (Dimuat di harian Republika, Minggu,
20 November 2011)
Pulang
Oleh:
Pirngadi
PEDIH, melihat wanita yang
sangat dicintainya terbujur kaku tak bernyawa. Pilu, menyaksikan perut sang jenazah
yang mulai kelihatan membuncit karena hamil. Lebih mengiris hati, menyadari
kenyataan calon jabang bayi di perut itu bukan dari benihnya. Luka hati yang
sangat perih dan kobaran amarah di tempurung kepala Maman membuat laki-laki itu
terpaku seperti patung batu. Orang-orang terus mengalir berdatangan
mengungkapkan dukacita, menyampaikan penghiburan, atau sekadar hadir melihat.
Rumah yang belum sepenuhnya jadi karena dindingnya masih belum diplester semen
itu pun ramai dalam kedukaan.
Mata Maman kosong
menatap jenazah istrinya, membawa mundur kisah yang berakhir tragis ini. Maman
masih ingat benar siang pada akhir November empat tahun lalu. Saat di mana ia
pulang dari tempatnya bekerja dengan tubuh lemas tak berdaya. Perusahaan tempat
Maman bekerja bangkrut dan ia kena PHK. Bersama rasa panik yang menggayut di
benaknya, Maman pontang-panting menghidupi istri dan seorang anaknya yang masih
berumur dua tahun. Tiga bulan nihil tidak dapat pekerjaan, sementara uang
pesangon nyaris tak bersisa, Maman akhirnya menyerah. Atas desakan Asih,
istrinya, Maman angkat kaki dari Jakarta, pulang kampung ke rumah mertuanya.
Pulang kampung dengan
embel-embel karena gagal di rantau membuat Maman seperti ditelanjangi di tempat
ramai. Rasa malu itu semakin sempurna setelah berbulan-bulan kemudian Maman
belum mendapatkan pekerjaan tetap. Ijazahnya yang hanya setingkat sekolah
lanjutan pertama serta pengalaman kerjanya sebagai office boy sama
sekali tidak memberi pengaruh mendapatkan pekerjaan.
Sambil terus
berusaha, Maman mencoba bersabar tinggal menumpang di rumah mertuanya yang juga
dihuni keluarga kakak iparnya. Kadang-kadang, dari tatap matanya menyiratkan
ketidaksukaan atau mungkin penghinaan. Maman memang tidak punya pilihan. Kedua
orang tuanya di ujung timur Pulau Jawa sudah lama meninggal dunia. Tanah
sepetak tempat sebuah rumah reyot yang merupakan satu-satunya harta peninggalan
orang tuanya kini dihuni oleh keluarga adik semata wayangnya dengan kondisi
ekonomi tak lebih baik.
Malam itu menjadi
malam yang paling panjang yang tidak mungkin Maman lupakan. Dalam gelap, dada
Maman basah oleh air mata Asih. “Bukan aku tak menghargai kamu, tapi sampai
saat ini, kamu belum dapat kerja dengan penghasilan tetap. Kalau aku dan kamu
mungkin bisa menahan rasa lapar atau keinginan akan sesuatu, tapi tidak untuk
anak kita. Aku paling tidak tahan ketika ia menginginkan seperti yang dimakan
atau dimiliki kakak-kakak sepupunya. Sebagai ibunya, hatiku seperti diiris-iris
karena tidak dapat membelikannya, bahkan untuk sesuatu yang harganya tidak
mahal karena kita sama sekali tak punya uang. Aku hanya ingin kita bisa keluar
dari situasi sulit ini selagi kamu belum mendapatkan jalan. Kalau kamu memberi
izin, aku berniat berangkat ke Timur Tengah….” isak Asih.
Tidak ada kata dalam
kalimat Asih yang mampu membangkitkan kemarahan. Tapi entahlah, Maman merasa
ulu hatinya ngilu seperti tertembus ribuan jarum. Asih sama sekali tidak
menyalahkan Maman. Bahkan, Asih minta izin seandainya Maman memberikannya. Pada
saat matanya berkaca-kaca, Maman hanya mampu membatin, Ya Allah, terima kasih
telah memberiku seorang istri sebaik ini….
Malam itu Maman
memang tidak memberi jawaban secara lisan, namun dari pelukan yang
dipereratnya, Asih tahu suaminya memberinya izin meskipun dengan berat hati.
Rencana berangkat ke Arab Saudi itu pun tidak dengan mudah terlaksana. Maman
dan Asih harus pontang-panting mencari pinjaman.
Ketidakberdayaan atau
lebih tepatnya kemiskinan, sering membawa orang untuk mengambil keputusan dan
mengawali sesuatu dengan linangan air mata. Itu pula yang terjadi pada Maman
dan Asih. Asih berangkat dengan berurai air mata. Maman melepas kepergian
istrinya dengan isi dada berkeping-keping. Ditinggal pergi istrinya sejauh itu
tidak pernah terbayangkan oleh Maman. Kemiskinan telah membuat orang yang
semestinya ia nafkahi dan lindungi harus membanting tulang di negeri seberang
yang kadang-kadang dengan taruhan kehormatan atau bahkan nyawa.
Menjadi orang tua
tunggal dan tinggal menumpang di rumah mertua benar-benar menguji kesabaran
Maman. Apalagi, pada minggu-minggu awal kepergian Asih, Dini sering rewel ingat
ibunya. Sebisa mungkin Maman merawat dan menghidupi Dini. Menjadi kuli panggul
di pasar, menjadi kenek tukang batu, hingga tukang gali kuburan Maman lakoni
demi mengisi perut agar tidak kelaparan.
Memasuki bulan keenam
sepucuk surat dari Asih diterima Maman. Isinya singkat, namun cukup banyak
menghalau kekhawatiran Maman. Asih bekerja pada sebuah keluarga di Madinah.
Selain memasak, membersihkan rumah, mencuci, dan menyetrika, tugas Asih juga merawat
orang tua si empunya rumah yang sudah jompo. Pekerjaan yang terakhir ini yang
ditulis Asih paling berat karena berlangsung selama 24 jam.
Dua bulan kemudian,
surat kedua datang. Kali ini diikuti kiriman sejumlah uang. Setelah digunakan
untuk membayar utang-utangnya, Maman membeli sepeda motor bekas untuk mengojek.
Sejak menjadi tukang ojek di pasar, Maman memiliki penghasilan tetap. Maman
memang tidak ingin berpangku tangan menikmati uang kiriman istrinya dari Arab.
Untuk keperluan sehari-hari, Maman dan anaknya sudah bisa dicukupi dari hasil
mengojek.
Kiriman uang yang
boleh dikatakan rutin dari Arab serta didukung sikap hemat Maman, pada tahun
kedua, berhasil membeli sepetak tanah tidak jauh dari rumah mertuanya. Maman
juga sudah memiliki handphone sehingga Asih kadang-kadang menelepon
langsung dari Arab. Setahun kemudian, sebuah rumah berhasil Maman bangun
meskipun belum selesai benar. Beberapa bulan setelah menempati rumah baru,
suatu malam, Asih menelepon dan mengabarkan majikan jompo yang selama ini ia
rawat telah meninggal dunia. Asih juga menjelaskan kemungkinan besar ia
berganti majikan.
Sejak malam itu,
komunikasi terputus. Tiga bulan kemudian, Asih kembali menelepon dan mengatakan
ia sekarang bekerja pada sebuah keluarga polisi. Komunikasi kembali terputus,
bahkan kiriman uang pun berhenti. Maman kembali khawatir. Hampir setahun Maman
kehilangan jejak Asih hingga dua minggu lalu, handphone-nya kembali
berbunyi oleh nomor yang tidak dikenal. Ternyata suara Asih. Tak seperti
biasanya, kali ini suara Asih tertahan-tahan kebingungan. Meskipun Asih
mengatakan bahwa lusa akan pulang, kelegaan Maman berubah menjadi rasa takut.
Ketidakjelasan
pesawat yang ditumpangi Asih membuat Maman, Dini, kedua mertua, serta kakak
iparnya keleleran di bandara. Dengan mobil sewaan, mereka sebenarnya sudah kuyu
menempuh perjalanan semalaman. Setelah dari pagi menunggu, baru sekitar pukul
delapan malam, Maman melihat Asih. Namun, tidak serta-merta Maman bisa menemui
istrinya.
Asih memeluk Maman
dalam tangis yang sulit dipahami. Gembira, sedih, atau takut. Sekilas Maman
melihat tubuh istrinya sedikit lebih gemuk dan…. Ah, Maman berusaha membuang
jauh-jauh prasangka buruknya. Sepanjang perjalanan pulang, seisi mobil itu pun
lebih banyak diam. Kegembiraan sebuah pertemuan setelah sekian tahun tidak
bertemu tiba-tiba menguap entah ke mana. Malam itu malam kedua setibanya Asih
di rumah. Saat itu, Dini sudah terlelap. Asih menangis dan berlutut mencium
kaki suaminya. Dengan suara bergetar Maman berkata, “Kamu hamil?”
“Mengapa kamu tidak
marah? Mengapa kamu tidak memaki-maki aku? Mengapa kamu tidak memukuli aku? Aku
istri yang bejat! Kamu seharusnya menghajarku hingga babak belur! Kalau perlu,
injak-injak saja perutku ini hingga keluar semua kebusukan dan aib dari
dalamnya. Seharusnya aku tidak takut ketika dia mengancamku dengan pisau.
Seharusnya aku atau dia yang mati….” rintih Asih dengan tubuh
berguncang-guncang.
Asih menunggu makian,
pukulan, atau tendangan suaminya, namun apa yang diharapkannya itu tidak
kunjung tiba. Asih justru mendapati suaminya itu berjongkok dan mengangkatnya
berdiri.
“Istighfar….” bisik
Maman dengan suara tercekat. Laki-laki itu kemudian bergegas membuka pintu dan
duduk tepekur di teras rumah hingga Subuh menjelang.
Setelah shalat Subuh,
seperti biasanya Maman berangkat mengojek. Dua hari Maman tidak berangkat
bekerja karena kedatangan Asih. Maman tidak berpamitan kepada Asih karena ia
tidak tega membangunkan istrinya yang masih terlelap memeluk Dini. Mungkin Asih
semalaman juga susah tidur atau bahkan kecapaian menangis.
Sekitar pukul 10
pagi, Maman menerima SMS dari Asih. Asih menulis, Maafkan ak tlh lakukn jln
spt ni. Kmu trlalu baik ntuk trm smua aib ni. Aq titip Dini ya. Tanpa
berpikir panjang lagi, Maman bergegas pulang. Seorang ibu yang akan diantarkan
pulang dari pasar ditinggalkannya begitu saja. Ada perasaan tidak enak yang
tiba-tiba membuat Maman seperti mendapat firasat buruk.
Tiba di rumah, Maman
mendapati semua pintu dan jendela terkunci. Maman sebenarnya sudah bisa membuka
kunci pintu dengan anak kunci yang dibawanya, namun daun pintu tidak bisa
terkuak karena sepertinya diselot dari dalam. Maman menggedor-gedor pintu
sambil memanggil-manggil istrinya. Seorang tetangga keluar rumah mendengar
suara ribut. Wanita setengah baya itu pun memberi laporan bahwa Asih setengah
jam yang lalu mengajak Dini keluar rumah. Bisa jadi menitipkan Dini ke rumah
kakek-neneknya karena sebentar kemudian Asih balik lagi dan tidak keluar-keluar
rumah lagi. Laporan tetangga itu semakin membuat Maman khawatir. Maman pun
mendobrak pintu rumahnya.
Ketika daun pintu
berhasil dibuka, detik selanjutnya tubuh Maman terhuyung lemas. Bukan karena
kehilangan keseimbangan akibat mendobrak pintu, melainkan karena melihat
pemandangan yang terpampang di depan mukanya. Tubuh Asih sedikit berayun-ayun,
menggantung pada seutas tali yang menjerat lehernya. Asih bunuh diri!
Maman menyeka air
mata yang perlahan turun di pipinya. Tidak digubrisnya saran atau suruhan
orang-orang di sekitarnya untuk menuntut pertanggungjawaban kepada orang-orang
yang dianggap bersalah. Ada yang menyuruhnya menuntut pada majikan Asih yang di
Arab, ada yang menyuruh Maman agar menuntut perusahaan pengerah tenaga kerja
yang memberangkatkan Asih, dan ada pula yang mendukung Maman agar menuntut
pemerintah karena tidak becus melindungi warganya sehingga diperlakukan
sewenang-wenang. Maman menghargai simpati kerabat dan tetangganya itu, namun ia
lebih memikirkan bagaimana caranya bisa memanfaatkan apa yang ia punya untuk
masa depan Dini daripada menggunakan uangnya untuk mengurus hal-hal yang
hasilnya pun belum pasti. Bukankah di negeri ini segala sesuatunya membutuhkan
uang? Bukankah sudah jamak pula di negeri ini yang hitam jadi putih dan yang
putih jadi hitam?
Maman terperenyak
ketika pundaknya ditepuk perlahan oleh seseorang. Seorang bapak yang menepuk
pundak Maman itu berkata bahwa jenazah Asih sebaiknya segera diberangkatkan.
Maman mengangguk kuyu dan berjalan tertatih mengantarkan jenazah istrinya ke
pemakaman, mengantarkannya pulang ke Sang Khalik. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar